Manusia
Sebagai Homo Educandum
Manusia
adalah makhluk yang memerlukan pendidikan atau “homo educandum “. Manusia
dipandang sebagai homo educandum yaitu makhluk yang harus dididik, oleh
karena menurut aspek ini nanusia dikategorikan sebagai “animal educabil ” yang
sebangsa binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang selain manusia hanya
dapat dilakukan dressur (latihan) sehingga dapat mengerjakan sesuatu
yang sifatnya statis (tidak berubah).
Perlunya
manusia untuk dididik menurut saya terlebih dahulu harus dilihat dari dua segi
aspek pendidikan sebagai berikut: “Pertama dari segi pandangan masyarakat dan
kedua dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat pendidikan
berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat itu tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai
nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar
identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara”. Dari segi pandangan individu,
pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.
Seperti potensi akal, potensi berbahasa, potensi agama dan sebagainya.
Potensi-potensi tersebut harus diusahakan dan dikembangkan agar dapat
dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Dilihat dari
kedua sudut pandangan tersebut di atas, maka manusia perlu sekali diberi
pendidikan, karena tanpa pendidikan pewarisan kebudayaan dan pengembangan
potensi manusia tak dapat dilakukan dengan sepenuhnya. Di dalam kitab suci
Al-qur’an manusia disebut sebagai ahsanu taqwim, yang berarti
sebaik-baik bentuk, dan diantara makhluk Tuhan memang manusialah yang paling
baik kejadiannya. Terutama yang paling penting bagi manusia yang membedakannya
dengan binatang adalah bahwa manusia mempunyai akal
Berpikir
merupakan suatu potensi vital yang dimiliki manusia. Manusia sebagai homo
sapien, Animal Symbolicum, Animal Rationale, dan sebagai Hayawatunatiq. Potensi
manusia yang dibawa sejak lahir adalah “akal” yang menjadi dasar pokok bagi
pengembangan “Needs for Achievement”.
Contohnya:
para ahli psikologi menafsirkan bahwa tingkah laku menangis sang bayi pada saat
lahir dan dilahirkan ke bumi ini dihubungkan dengan potensi akal dan arah
pengembangan. Contoh lainnya; setiap waktu kita mengerjakan kewajiban seperti
shalat lima waktu tapi justru shalat itu, belum mampu membendung tingkah laku
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan a moral atau perbuatan yang
melanggar aturan Tuhan. Sehingga nilai shalat tadi yang dikerjakan tidak lebih
dari praktek ritual semata. Prilaku manusia yang berakal hilang dengan
pengaruh nafsu, nafsu lebih menguasai akal manusia, yang seharusnya akal
mengontrol nafsu itu.
rajin banget post yang kayak ginian :p hehe
BalasHapus